Firasat

Entah kenapa sejak minggu lalu aku dibayangi perasaan tidak enak. Entah apa dan muncul dari mana, tapi setiap aku memikirkan Papa, perasaan itu timbul. Pernah kah kalian memiliki hal yang mengganjal di hati, tapi kalian tidak dapat mengutarakan nya dengan kata-kata. Namun ketika aku melihat wajah Papa dari layar handphone, aku yakin betul firasat ini datang dari kedua bola mata nya.

"Udah seminggu ya sejak Casy telpon rumah. Papa ngga mau ganggu thesis nya, jadi papa nunggu Casy yang telpon aja"

Sejujurnya mulut langsung terasa kering dan ingin kuluapkan semua keletihan dan mengeluh kepada nya. Tapi aku tahu, Papa yang jantung nya sudah lemah tidak boleh mendengar berita buruk atau mengetahui aku kesulitan.

"Jangan nangis. Papa ngga bisa ngeliat kamu nangis. Kalau mau nangis, nih papa kasih mama aja ya HP nya."

Ya, Pa. Papa tidak perlu mengingatkan lagi. Aku langsung menelan semua hal dan keluhan yang ingin aku sampaikan. Sejak aku naik ke bangku SMP dan jantung Papa melemah, aku tidak pernah memperlihatkan sisi sedih ku dihadapan nya, apalagi menangis. Dulu kalau aku mulai menangis dirumah, hanya ada Mama yang menenangkan sedangkan Papa malah masuk ke kamar dan rebahan. Kadang aku berpikir, lantas kenapa sampai umurku yang 24 tahun ini, aku masih sering menangis ketika diterpa ujian atau cobaan, Pa? Apakah ini semua hanya cara ku menarik perhatian Papa untuk mau duduk disebelahku ketika aku sedang sedih?

"Jam tangan yang Papa kasih rusak"
"Oh ya, kapan Papa kasih? Ya buang saja dek."
"Hadiah dari 8 tahun yang lalu, masih Casy pake kok, Pa."


Aku tidak pernah membeli barang bagus untuk diriku sendiri. Bagi yang mengenalku, pasti kalian tahu hobi ku membeli pakaian bekas di Pasar Senen hahaha. Tapi aku memiliki banyak barang berharga, yang mungkin mahal tapi bagi ku nilai nya tak terhingga. Salah satunya adalah jam tangan ini yang Papa berikan sebagai hadiah masuk ITB. Setiap hari tidak pernah aku lepas dari tangan kiri ku. 8 tahun lamanya setia menemani, walau strap nya sudah belel dan tidak sedikit teman-teman mengolokku karena bagi mereka aku masih memakai jam tangan buluk. Hehe tidak salah sih, mereka benar kok, hanya saja mereka tidak tahu bagaimana aku menghargai pemberian Papa.

"Jam tangan ini tiba-tiba mati minggu ini. Kenapa ya perasaan Casy ngga enak tentang Papa jadinya?"
"Ah, perasaan 'dik Casy saja itu," jawab nya dengan nada centil.

Aku hanya membalas senyum seakan menelan semua bercanda nya. Hanya saja, dia tidak tahu bahwa kemarin abangku menelpon, mengabarkan bahwa beberapa hari yang lalu jantung Papa sempat berdebar dan kumat, sampai harus rebahan di kantor. Hari itu, Papa bisa kembali beraktivitas dengan normal secepatnya, dan dia melarang keluarga untuk memberi tahu tentang kejadian ini kepada ku, dengan alasan supaya aku focus belajar dan tidak panik. Abangku pun akhirnya menceritakan tentang kejadian tersebut berhari-hari setelahnya, dengan catatan tidak membahasnya didepan Papa lagi.

Don't you see Pa? We're so much alike. Kita berdua sama-sama tidak mau melukai maupun memberikan kesedihan ke satu sama lain, tapi kenapa pada akhirnya kita berdua yang terluka? Kenapa Papa ngga menceritakan sakit Papa ke Casy? Mengapa harus dirahasiakan? Apa yang terjadi misalnya Casy susah dihubungi ketika ada hal genting? Lalu untukku, mengapa aku tidak menceritakan kesulitan yang sedang aku jalani? Mengapa aku harus terus memilah-milah berita yang ingin aku sampaikan? Kenapa aku tidak bisa sangat gamblang menceritakan semua keluh kesah ku?

In the end, kita berdua saling menjaga perasaan satu sama lain, dan ujungnya kita juga yang terluka, Pa. Sejak dulu firasat ku tidak pernah salah, lantas mengapa sekarang aku selalu bangun tidur dengan perasaan yang sama. I can't even imagine a world without you. Belum, jangan dulu. Masih banyak yang harus aku capai dan aku berikan untukmu. Maka dari itu aku ingin kita bisa saling mengabarkan hal yang tidak mengenakkan kepada satu sama lain. Casy ingin bisa menangis didepan Papa, mengeluh, merengek, dan Papa juga bisa memperlihatkan muka Papa yang kesakitan tanpa perlu ditahan.

"Sudah mau ke kampus ya dek? Semangat ya Na papa naa"

(Na papa na : anak papa. Panggilan kecil nya buat aku yang dulu sempat sulit menyebutkan nama ku sendiri. Ketika orang menanyakan nama ku, jawabanku pasti "aku na papa" / aku anak papa )

"Iya Pa. Papa sehat-sehat ya, jaga jantung nya, jantung papa berdetak untuk Casy juga."

Kututup telpon itu sebelum dia bertanya atau curiga mengapa tiba-tiba aku menanyakan jantungnya. Aku takut abangku dimarahi karena dengan sengaja membeberkan kejadian tersebut yang ingin dia simpan sebagai rahasia saja hehehe. Mungkin akan ada waktunya ya Pa, kita bisa saling terbuka tentang kegelisahan dan kesedihan tanpa harus saling menjaga perasaan.

From your daughter,
Delft, August 2019
Amanda Castolina

Comments

Popular posts from this blog

Mengejar Cita : Menjemput Beasiswa LPDP

mas bro

Lika-liku bertemu suami